Senin, 07 Maret 2011

RAHASIA SURAT AL-WAQI'AH


Ubay bin Ka’b berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Wâqi’ah, ia akan dicatat tidak tergolong pada orang-orang yang lalai.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 5/203).

Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Waqi’ah, ia tidak akan tertimpa oleh kefakiran selamanya.” .” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 5/203).
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Waqi’ah pada malam Jum’at, ia akan dicintai oleh Allah, dicintai oleh manusia, tidak melihat kesengsaraan, kefakiran, kebutuhan, dan penyakit dunia; surat ini adalah bagian dari sahabat Amirul Mukimin (sa) yang bagi beliau memiliki keistimewaan yang tidak tertandingi oleh yang lain.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 5/203).
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang merindukan surga dan sifatnya, maka bacalah surat Al-Waqi’ah; dan barangsiapa yang ingin melihat sifat neraka, maka bacalah surat As-Sajadah.” (Tsawabul A’mal, hlm 117).
Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Waqi’ah sebelum tidur, ia akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan wajahnya seperti bulan purnama.” (Tsawabul A’mal, halaman 117).
Surat Al-Waqi’ah adalah salah satu yang dikenal sebagai surat penuh berkah. Keberkahannya mampu melenyapkan kemiskinan dan mendatangkan rejeki bagi siapa saja yang membacanya dengan rutin.
Dalam beberapa riwayat, diungkapkan bahwa Rosulullah bersabda:
  1. Barangsiapa membaca surat Al-Waqi’ah setiap malam, maka kemiskinan tidak akan menimpa dirinya untuk selamanya
  2. Surat Al-Waqi’ah adalah surat kekayaan, maka bacalah surat itu dan ajarkan kepada anak-anak kalian
  3. Ajarkanlah istri kalian surat Al-Waqi’ah, karena sesungguhnya surat itu adalah surat kekayaan.
di bulan ramadhan ini, itu sedikit ilmu yang bisa saya bagikan kepada saudra seagama,marilah kita perdalam agama dan sampaikan walau satu ayat. semoga allah memberikan kita ampunan,rahmat dan hidayahNya. marilah kita tingkatkan mutu iman dan taqwa pada allah.

Ayat yang mungkin km tanya, dari 11-20
أُوْلَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ
11. Mereka itulah orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).
"Dan orang-orang yang paling dahulu beriman." Kata sabaqa berarti mendahului. Dalam kehidupan ini, setiap orang itu bisa dipimpin atau memimpin. Di sini, Allah menyebut-nyebut keadaan keberhasilan puncak, yakni keberhasilan seseorang yang telah berpindah ke zone di luar waktu, alam berikutnya. Menurut beberapa hadis, kata sâbiqun berarti orang-orang yang beriman terlebih dahulu. Para Imam mengidentifikasi sebagian orang mukmin awal yang masuk surga adalah anak Adam yang dibunuh, orang pertama yang masuk Islam dari kalangan kaum Fir'aun, Habib an-Najar yang mengikuti 'Isa a.s., dan Ali bin Abi Thalib a.s.
Kata as-sâbiqun secara umum merujuk pada orang-orang yang akan masuk surga tanpa dihisab, karena sudah berada dalam keadaan demikian dalam kehidupan dunia ini.
فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ
12. Berada dalam surga-surga kenikmatan.
ثُلَّةٌ مِّنَ الْأَوَّلِينَ
13. Segolongan besar dari orang-orang terdahulu.
وَقَلِيلٌ مِّنَ الْآخِرِينَ
14. Dan segolongan kecil dari orang-orang terkemudian.
Mereka berada dalam "surga-surga kenikmatan." Kata na'îm berasal dari kata na'ama, yang berarti hidup tenang dan nyaman. Kata ni'mah adalah berkah dan kenikmatan, segala sesuatu yang ingin lebih banyak lagi dimiliki oleh seseorang. "Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu" (QS 2:216). Seringkali seseorang tidak dapat mengambil hikmah dari berbagai peristiwa yang dialaminya. Jika manusia mampu apa yang menimpa dirinya sebagai terjadi atas nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (bismillâhirrahmânirrahîm), maka ia akan mampu melihat rahmat Allah di balik setiap peristiwa dan situasi. Bila tidak, ia hanya akan menilai berdasarkan pandangan pribadinya. Orang mukmin hanya melihat kebaikan, tanpa mempedulikan apa kata orang lain. Jika ia betul-betul beriman, jika ia meyakini bahwa pengendali makhluk ini adalah Tuhan Yang Maha Pengasih, maka ia akan berusaha melihat rahmat Allah di balik setiap peristiwa. Karena alasan itu, hati seorang mukrnin tidak pernah terguncang atau merasa gelisah. Seorang mukmin bertindak sebaik mungkin menurut kemampuannya, karena ia adalah aktor dan sekaligus objek tindakan. Secara lahiriah, ia akan menanggapi suatu keadaan darurat. Sementara itu, secara batiniah, ia akan merasa tenang, karena mengetahui bahwa hal itu berasal dari Tuhan Yang Mahabenar. Jika ia tidak menyukai apa yang menimpa dirinya, yang demikian itu karena ia menilainya secara salah dan serampangan.
Penilaian didasarkan pada tingkat kejahilan dan pengetahuan. "Boleh jadi engkau menyukai sesuatu padahal ia itu bumk bagimu" (QS 2:216). Seorang anak sangat suka bila ada banyak coklat di sekelilingnya, sementara seorang dewasa yang berilmu bisa mengetahui bahaya coklat itu bagi kesehatan. Seorang anak muda yang bertanggung jawab baru mengerti dan memahami arti jerih payah dan tanggung jawab dalam hubungannya dengan harta kekayaan setelah ia memperolehnya dengan keringatnya sendiri. Hanya dengan cara seperti ini sajalah ia akan mengetahui kesulitan dalam memperoleh, menjaga, dan membelanjakannya dengan baik. Akan tetapi, seorang yang tidak bertanggungjawab biasanya memiliki hasrat atau keinginan romantis pada segala sesuatu tanpa mengetahui bahaya yang terkandung di dalamnya.
Sekelompok orang yang sudah lebih dahulu memiliki pengetahuan tentang Tuhan Yang Mahabenar juga lebih dahulu memasuki surga keimanan. Mereka dikatakan terdahulu dalam pengertian bahwa mereka sudah masuk ke surga sebelum kematian karena telah meraih kebahagiaan dan ketenangan dalam kehidupan ini. Mereka sudah mengetahui makna kenikmatan dan memiliki pengetahuan langsung tentang tauhid di dunia ini. Orang-orang yang belum meraih pengetahuan langsung hanya bisa membenahi dan memperbaiki salat dan doa mereka dengan harapan bahwa mereka bisa memperolehnya sewaktu nyawa dan dunia pun direnggut oleh kematian. Tidak peduli sudah sejauh mana tauhid dan keimanan seseorang, tetap saja masih ada tarikan tubuh. Tubuh adalah salah satu instrumen yang digunakan Allah dalam memberikan peringatan bahwa seseorang masih dikuasai oleh belenggu alam kehidupan dunia ini. Tidak peduli sejauh mana seseorang berada dalam kepasrahan, tetap saja masih diketahui ada dualitas dan kerugian.
Ketidakadilan manusia ada karena tidak ada ketinggian puncak dalam evolusi spiritual, yakni peristiwa historis atau duniawi berupa munculnya Imam Mahdi (secara harfiah bermakna orang yang terbimbing lurus; beliau adalah Imam kedua belas yang sedang gaib). Pada waktu itu, bumi akan diwarisi oleh orang-orang rendah hati yang bertindak benar. Keadilan Allah pun akan terwujud penuh dalam kehidupan ini.
Jika seseorang peduli pada waktu, maka ia juga harus peduli pada kronologi peristiwa. Jika cahaya intelek memungkinkan seseorang untuk pergi menembus waktu untuk sesaat, maka kata "terdahulu" mengimplikasikan orang-orang yang memperoleh risalah, tak peduli kapan waktunya. Orang-orang yang kepedulian utamanya adalah menjalani kehidupan tauhid cenderung kurang mementingkan waktu. Manusia yang mencari tauhid akan berusaha memperoleh pengetahuan Ibrahim a.s. la bersahabat dengan Nabi Muhammad saw., dan menginginkan bimbingan, nasihat, dan persahabatan dengan para Imam dan sahabat-sahabat terpilih. Ia ingin mendekati keadaan mereka. Sia-sia dan percuma saja menginginkan kedekatan dengan mereka secara fisik, tanpa ingin mengambil teladan mereka. Dan jika seseorang ingin mendekati keadaan mereka, maka yang demikian itu dapat terjadi kapan saja. Sebab, keadaan mereka dipaparkan kepada manusia melalui Al-quran, Sunah Nabi, dan hadis. Seseorang bisa dikatakan telah hadir bersama mereka bila ia sudah mampu mencapai derajat yang sama dengan mereka.
عَلَى سُرُرٍ مَّوْضُونَةٍ
15. Mereka berada di atas dipan bertahtakan emas dan permata.
مُتَّكِئِينَ عَلَيْهَا مُتَقَابِلِينَ
16. Seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan.
Akar kata surur (tahta) adalah dari sarra, yang berarti membuat bahagia, mempercayakan rahasia, menyembunyikan sesuatu. Darinya muncul banyak kata yang membentuk pola makna menarik. Kata surur bermakna kebahagiaan, yang menyiratkan bahwa sumber kebahagiaan adalah suatu rahasia yang hanya bisa dibisikkan kepada diri sendiri. Itulah rahasia dari segala rahasia yang tidak bisa diungkapkan. Jika seseorang bahagia, maka kebahagiaan itu sendiri adalah penjelasan tentang keadaan tersebut. Akan tetapi, orang tidak bisa memberikan sumber itu kepada orang lain. Ini berkaitan dengan tingkat kesadaran lainnya.
Kesenangan adalah sesuatu yang dapat dibagi dan dibeli. Kesenangan berkaitan dengan berbagai keterikatan dan juga merupakan sesuatu yang bersifat duniawi, sementara surur, kebahagiaan, hanyalah demi kepentingannya sendiri. Burung bernyanyi, karena sifat alamiahnya memang bemyanyi, tak peduli apakah ada pemburu yang sedang mengintainya atau apakah tetangganya memberinya makanan tambahan. Kesenangan adalah hasil dari sesuatu yang telah terjadi. Ada seseorang kesepian dan kemudian ia menemukan seorang sahabat yang bersedia mendengar dan menanggapi apa yang diyakininya—inilah kesenangan. Ada seseorang lapar; perutnya kosong, dan kemudian ada makanan—itulah kesenangan. Kesenangan bagaikan netralisasi: kutub positif dan negatif bertemu sehingga dan kemudian dinetralisasi.
Kegembiraan adalah sesuatu yang lain lagi; ia adalah penangkal dari kutub negatif. Kegembiraan terjadi ketika apa yang dianggap menyenangkan sudah diketahui sebagai ilusi (wahm). Penangkal kutub negatif adalah kutub positif, dan inilah keadaan normal manusia. Karena alasan inilah manusia secara inheren mencari kebahagiaan. Ia mengetahui kesenangan; ia tahu bahwa kebahagiaan dapat dibeli, tetapi ia tidak mengetahui cara menuju kebahagiaan itu. Manusia mencari kebahagiaan karena memang itulah sifat alamiahnya. la tidak bahagia karena ia berkali-kali mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa ia memerlukan sesuatu agar bisa bahagia. Ia selalu memburunya. Akan tetapi, begitu ia sudah memperolehnya, ia pun menginginkan sesuatu yang lain.
Pintu menuju rumah kebahagiaan adalah pengetahuan tentang bagaimana menguraikan ikatan yang telah dibuat seseorang. Itulah sebabnya dikatakan bahwa sumber kebahagiaan itu adalah rahasia dari segala rahasia. Sesuatu yang diinginkan dengan sendirinya adalah sebuah wahm. Pengetahuan tentang wahm menjadi penangkal baginya. Dan jika penangkalnya itu memang murni, maka akar kebahagiaan itu dipupuk dari dalam. Itulah tanah subur tempat pohon kepuasan akan tumbuh. Kepuasan adalah sebuah pohon yang tidak bisa ditanamkan pada orang lain. Seseorang harus memupuk dan menumbuhkannya dengan segenap usaha dan jerih payahnya sendiri.
Sebenarnya sudah ada kepuasan yang inheren dalam dalam diri makhluk seperti burung. Akan tetapi, manusia memiliki kesadaran tentang kepuasan itu. Selanjutnya, manusia memiliki cahaya kesadaran dari kesadaran. Ini mengukuhkan manusia sebagai makhluk paling luhur dan termulia. Manusia sadar akan kesadaran tentang kebahagian. Manusia juga sadar akan kesadaran tentang ketidakbahagiannya.
Surur tidak bisa diwariskan, tetapi harus diperoleh dengan usaha dan jerih payah. Jika seseorang telah mengetahui cara untuk mendapatkannya, maka ia akan terus mencarinya sepanjang hayat masih dikandung badan. Ini sama sekali tidak berkaitan dengan waktu atau tempat. Sering kali seseorang yang bodoh kembali ke danau atau puncak gunung tempat ia berlibur atau mengalami masa indah, seraya berpikir bahwa ia akan mampu menghadirkan kembali perasaan bahagia dalam hatinya. Ia merindukan kebahagiaan. Pencarian menyimpang ini dijumpai dalam jiwa orang-orang seperti artis atau komponis. Dalam riwayat hidup orang-orang gila ini, seseorang akan menemukan bahwa mereka sering kali kembali ke gunung yang sama dengan maksud untuk menjalani sisa hidup mereka dalam suatu ilusi romantis agar mereka bisa menghadirkan kembali momen-momen kreatif mereka. Akan tetapi, momen-momen kreatif adalah momen-momen keterputusan dari dunia ini. Ini terjadi begitu saja bahwa ia berada di puncak gunung itu. la merindukan momen kebahagiaan yang telah dialaminya tetapi tak bisa dihadirkan kembali. la mengira bahwa kebahagiaan itu bisa digambarkan, padahal tidaklah demikian halnya. "Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai, dan bukan jalan orang-orang yang sesat" (QS 1:7). Perhatikan apa saja yang menyusahkan Anda dan menjauhkan Anda dari kebahagiaan: keterikatan, harapan, nafsu, dan rasa takut—waspadalah terhadap semuanya ini dan Anda akan berada dalam surga.
Akar kata surur juga berkaitan dengan kata yang bermakna pemotongan ari-ari bayi yang baru lahir. Hal ini menjadi kebahagiaan, karena sang anak sudah tidak bergantung lagi pada "rahim." Pemotongan ari-ari itu mengawali kemandirian lahiriahnya dan mengantarkannya menuju kemungkinan untuk memahami bahwa ia bergantung hanya kepada Allah. Inilah awal dari sebuah perjalanan kebahagiaan yang di dalamnya sang anak mulai mengetahui bahwa ia adalah "anak" dari Zat Yang Mahabenar dan Yang Mahahakiki dan bahwa ia lahir karena rahmat Allah, sementara sang ibu hanyalah alat tempat ia dititipkan sebelum lahir. Potensialitas kehidupannya sebelum pembuahan ada dalam pengetahuan Allah dan menjadi suatu ekspresi, suatu manifestasi.
Sarîr (tahta, ranjang, bentuk tunggal dari surur) adalah simbol kelegaan atau keterlepasan dari segala gangguan luar dan juga sarana menuju kebahagiaan. Ini memungkinkan seseorang untuk bersantai dan merasakan kebahagiaan, suatu keadaan yang tenang. "Seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan." Sambil bersandar di tempat duduk itu, orang-orang yang didekatkan (kepada Allah) itu tidak merasa gelisah. Mereka merasa rileks atau santai. Kata mutaqâbilîn (berhadap-hadapan) berasal dari kata taqâbala yang bermakna bertemu, saling berhadapan. Mereka pun saling melihat bayangan mereka satu sama lain. Mereka melihat orang lain yang juga seperti diri mereka sendiri. Mereka melihat penampilan yang berulang-ulang, yakni hologram. Akar katanya adalah qabala, yang berarti menerima; kata qiblah, yang berasal dari akar kata yang sama, berarti arah yang dituju seseorang; qâbilah adalah seorang ibu rumah tangga, orang yang menghadapi dan merawat sang bayi.
يَطُوفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُّخَلَّدُونَ
17. Mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan yang tetap muda.
بِأَكْوَابٍ وَأَبَارِيقَ وَكَأْسٍ مِّن مَّعِينٍ
18. Dengan membawa gelas (piala), cerek, dan minuman yang diambil dari air mengalir.
لَا يُصَدَّعُونَ عَنْهَا وَلَا يُنزِفُونَ
19. Mereka tidak merasa pening karenanya dan tidak pula mabuk.
وَفَاكِهَةٍ مِّمَّا يَتَخَيَّرُونَ
20. Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih.

Minggu, 06 Maret 2011

Syu'batul Lughoh Al Azhar 2011: Kumpulan Soal-Soal Cerdas Cermat Sd Al – Azhar 2 Bandar Lampung

Syu'batul Lughoh Al Azhar 2011: Kumpulan Soal-Soal Cerdas Cermat Sd Al – Azhar 2 Bandar Lampung

Syu'batul Lughoh Al Azhar 2011: RPP Kelas V

Syu'batul Lughoh Al Azhar 2011: RPP Kelas V

Syu'batul Lughoh Al Azhar 2011: Kajian Islam

Syu'batul Lughoh Al Azhar 2011: Kajian Islam

Syu'batul Lughoh Al Azhar 2011: Pembelajaran Bahasa Arab

Pembelajaran Bahasa Arab

Syu'batul Lughoh Al Azhar 2011: Photo Perpisahan Kelas VI SD Al - Azhar Lampung

Syu'batul Lughoh Al Azhar 2011: Photo Perpisahan Kelas VI SD Al - Azhar Lampung

Syu'batul Lughoh Al Azhar 2011: Pembelajaran Bahasa Arab

Syu'batul Lughoh Al Azhar 2011: Pembelajaran Bahasa Arab

Bacaan Surat Yasin Bukan Untuk Orang Mati

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

 HADITS PERTAMA
مَنْ قَرَأَ يَس فِيْ لَيْلَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ فَاقْرَؤُوْهَا عِنْدَ مَوْتَاكُمْ
“Barangsiapa membaca surat Yaasiin karena mencari ke-ridhaan Allah Ta’ala, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu. Oleh karena itu, bacakan-lah surat itu untuk orang yang akan mati di antara kalian.”

[HR. Al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’abul Iman]
يتيرانجان ة إني (ضَعِيْفٌ) LEMAH

Lihat Dha’if Jami’ush Shaghir (no. 5785) dan Misykatul Mashaabih (no. 2178).

HADITS KEDUA

مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ كُلَّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا أَوْ عِنْدَهُ يَس غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ آيَةٍ أَوْ حَرْفٍ.
“Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap Jum’at dan membacakan surat Yaasiin (di atasnya), maka ia akan diampuni (dosa)nya sebanyak ayat atau huruf yang dibacanya.”


Keterangan: HADITS INI (
مَوْضُوْعٌ) PALSU
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy (I/286), Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan (II/344-345) dan ‘Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Sunannya (II/91) dari jalan Abu Mas’ud Yazid bin Khalid. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Thaifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar secara marfu’.

Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 50).

Dalam hadits ini ada ‘Amr bin Ziyad Abul Hasan ats-Tsaubani. Kata Ibnu ‘Adiy: “Ia sering mencuri hadits dan menyampaikan hadits-hadits yang BATHIL.”

Setelah membawakan hadits ini, Ibnu ‘Adiy berkata: “Sanad hadits ini BATHIL, dan ‘Amr bin Ziyad dituduh oleh para ulama memalsukan hadits.”

Kata Imam Daruquthni: “Ia sering memalsukan hadits.”
Periksa: Mizaanul I’tidal (III/260-261 no. 6371), Lisanul Mizan (IV/364-365).

Penjelasan Hadits-Hadits di Atas
Hadits-hadits di atas sering dijadikan pegangan pokok tentang dianjurkannya membaca surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang naza’ (sakaratul maut) dan ketika ber-ziarah ke pemakaman kaum Muslimin terutama ketika menziarahi kedua orangtua. Bahkan sebagian besar kaum Muslimin menganggap hal itu ‘Sunnah’? Maka sekali lagi saya jelaskan bahwa semua hadits-hadits yang me-nganjurkan itu LEMAH, bahkan ada yang PALSU, se-bagaimana yang sudah saya terangkan di atas dan hadits-hadits lemah tidak bisa dijadikan hujjah, karena itu, orang yang melakukan demikian adalah berarti dia telah ber-buat BID’AH. Dan telah menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sah yang menerang-kan apa yang harus dilakukan ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan ketika berziarah ke kubur.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Membacakan surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan membaca al-Qur-an (membaca surat Yaasiin atau surat-surat lainnya) ketika berziarah ke kubur adalah BID’AH DAN TIDAK ADA ASALNYA SAMA SEKALI DARI SUNNAH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM YANG SAH.

Lihat Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha (hal. 20, 241, 307 & 325), cet. Maktabah al-Ma’arif.)

Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam Ketika Ada Orang Yang Sedang Dalam Keadaan Naza’

Pertama: Di-talqin-kan (diajarkan) dengan ‘Laa Ilaaha Illallah’ agar
ia (orang yang akan mati) mengucapkan “
لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (Laa Ilaaha Illallah).”

Dalilnya:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ.
"Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ajarkanlah ‘Laa Ilaaha Illallah’ kepada orang yang hampir mati di an-tara kalian.” 


Hadits SHAHIH, riwayat Muslim (no. 916), Abu Dawud (no. 3117), an-Nasa-i (IV/5), at-Tirmidzi (no. 976), Ibnu Majah (no. 1445), al-Baihaqi (III/383) dan Ahmad (III/3).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar kalimat Tauhid ini yang terakhir diucapkan, supaya dengan demikian dapat masuk Surga.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barangsiapa yang akhir perkataannya ‘Laa Ilaaha Illallah,’ maka ia akan masuk Surga.”


Hadits riwayat Ahmad (V/233, 247), Abu Dawud (no. 3116) dan al-Hakim (I/351), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu.

Kedua: Hendaklah mendo’akan kebaikan untuknya dan kepada mereka yang hadir pada saat itu. Hendaknya mereka berkata yang baik.

Dalilnya:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا حَضَرْتُمْ الْمَرِيْضَ أَوِ الْمَيِّتَ فَقُوْلُوْا: خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ يُؤَّمِّنُوْنَ عَلَى مَا تَقُوْلُوْنَ.
"Dari Ummu Salamah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Apabila kalian menjenguk orang sakit atau berada di sisi orang yang hampir mati, maka katakanlah yang baik! Karena sesungguhnya para malaikat mengaminkan (do’a) yang kalian ucapkan.’” 


Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no. 919) dan al-Baihaqi (III/384) dan selain keduanya.)
Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Ketika Berziarah Ke Pemakaman Kaum Muslimin

Pertama: Mengucapkan salam kepada mereka.
 Dalilnya ialah:
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah apakah yang harus aku ucapkan kepada mereka (kaum Muslimin, bila aku menziarahi mereka)?” Beliau men-jawab: “Katakanlah:
السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ.
‘Semoga dicurahkan kesejahteraan atas kalian wahai ahli kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada orang yang telah mendahului kami dan kepada orang yang masih hidup dari antara kami dan insya Allah kami akan menyu-sul kalian.’”


Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/221), Muslim (no. 974) dan an-Nasa-i (IV/93), dan lafazh ini milik Muslim.

Buraidah berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka (para Shahabat) apabila mereka memasuki pemakaman (kaum Muslimin) hendaknya mengucapkan:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ.
‘Mudah-mudahan dicurahkan kesejahteraan atas kalian, wahai ahli kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Kami mohon kepada Allah agar mengampuni kami dan kalian.’”

Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no.975), an-Nasa-i (IV/94), Ibnu Majah (no. 1547), Ahmad (V/353, 359 & 360). Lafazh hadits ini adalah lafazh Ibnu Majah.

Kedua: Mendo’akan serta memohonkan ampunan bagi mereka.
 Dalilnya:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ إِلَى الْبَقِيْعِ فَيَدْعُوْ لَهُمْ فَسَأَلَتْهُ عَائِشَةُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: إِنِّيْ أُمِرْتُ أَنْ أَدْعُوَ لَهُمْ.
"‘Aisyah berkata: “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke Baqi’ (tempat pemakaman kaum Muslimin), lalu beliau mendo’akan mereka.” Kemudian ‘Aisyah bertanya tentang hal itu, beliau menjawab: “Se-sungguhnya aku diperintah untuk mendo’akan mereka.”


Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/252).

Baca Al-Qur-an Di Pemakaman Menyalahi Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

Hadits-hadits yang saya sebutkan di atas tentang Adab Ziarah, menunjukkan bahwa baca al-Qur-an di pemakaman tidak disyari’atkan oleh Islam. Karena seandainya disya-ri’atkan, niscaya sudah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pasti sudah mengajarkannya kepada para Shahabatnya.

‘Aisyah ketika bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang harus diucapkan (dibaca) ketika ziarah kubur? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengajar-kan salam dan do’a. Beliau tidak mengajarkan baca al-Fatihah, baca Yaasiin, baca surat al-Ikhlash dan lainnya. Seandainya baca al-Qur-an disyari’atkan, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyembunyikannya.

Menurut ilmu ushul fiqih:
تَأْخِيْرُ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ لاَ يَجُوْزُ.
“Menunda keterangan pada waktu keterangan itu dibu-tuhkan tidak boleh.”


Kita yakin bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin menyembunyikan ilmu dan tidak pernah pula beliau mengajarkan baca al-Qur-an di pemakaman. Lagi pula tidak ada satu hadits pun yang sah tentang ma-salah itu.

Membaca al-Qur-an di pemakaman menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita membaca al-Qur-an di rumah:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ رواه مسلم رقم : (780) وأحمد والتّرميذي وصححه
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena se-sungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah.” 


Hadits riwayat Muslim (no. 780), Ahmad (II/284, 337, 387, 388) dan at-Tirmidzi (no. 2877) serta ia menshahih-kannya.

Hadits ini jelas sekali menerangkan bahwa pemakaman menurut syari’at Islam bukanlah tempat untuk membaca al-Qur-an, melainkan tempatnya di rumah, dan melarang keras menjadikan rumah seperti kuburan, kita dianjurkan membaca al-Qur-an dan shalat-shalat sunnat di rumah.

Jumhur ulama Salaf seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam-imam yang lainnya melarang membaca al-Qur-an di pemakaman, dan inilah nukilan pendapat mereka:

Pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud berkata dalam kitab Masaa-il Imam Ahmad hal. 158: “Aku mende-ngar Imam Ahmad ketika beliau ditanya tentang baca al-Qur-an di pemakaman? Beliau menjawab: “Tidak boleh.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dari asy-Syafi’i sendiri tidak terdapat perkataan tentang masalah ini, yang demikian ini menunjukkan bahwa (baca al-Qur-an di pemakaman) menurut beliau adalah BID’AH. Imam Malik berkata: ‘Tidak aku dapati seorang pun dari Sha-habat dan Tabi’in yang melakukan hal itu!’”

Lihat Iqtidhaa’ Shirathal Mustaqim (II/264), Ahkaamul Janaa-iz (hal. 241-242).

Pahala Bacaan Al-Qur-an Tidak Akan Sampai Kepada Si Mayyit

Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat:
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh (pahala) selain apa yang diusahakannya.” [QS. An-Najm: 53]

Beliau rahimahullah berkata:
أَيْ: كَمَا لاَ يُحْمَلُ عَلَيْهِ وِزْرُ غَيْرِهِ، كَذَلِكَ لاَ يَحْصُلُ مِنَ اْلأَجْرِ إِلاَّ مَاكَسَبَ هُوَ لِنَفْسِهِ. وَمِنْ هَذِهِ اْلآيَةِ الكَرِيْمَةِ اسْتَنْبَطَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَهُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ يَصِلُ إِهْدَاءُ ثَوَابِهَا إِلَى الْمَوْتَى، ِلأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِمْ وَكَسْبِهِمْ وَلِهَذَا لَمْ يَنْدُبْ إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّتَهُ، وَلاَ حَثَّهُمْ عَلَيْهِ وَلاَ أَرْشَدَهُمْ إِلَيْهِ بِنَصٍّ وَلاَ إِيْمَاءٍ، وَلَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، وَلَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ، وَبَابُ الْقُرَبَاتِ يُقْتَصَرُ فِيْهِ عَلَى النُّصُوْصِ، وَلاَ يُتَصَرَّفُ فِيْهِ بِأَنْوَاعِ اْلأَقْيِسَةِ وَاْلأَرَاءِ.
“Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, maka demikian pula ganjaran seseo-rang (tidak dapat dipindahkan/dikirimkan) kepada orang lain, melainkan didapat dari hasil usahanya sendiri. Dari ayat ini Imam asy-Syafi’i dan orang yang mengikuti beliau ber-istinbat (mengambil dalil) bahwasanya pahala bacaan al-Qur-an tidak sampai kepada si mayyit dan tidak dapat dihadiahkan kepada si mayyit, karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka. 


Tentang (mengirimkan pahala bacaan kepada mayyit) tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam me-nyunnahkan ummatnya, tidak pernah mengajarkan ke-pada mereka dengan satu nash yang sah dan tidak pula ada seorang Shahabat pun yang melakukan demikian. Seandainya masalah membaca al-Qur-an di pemakaman dan menghadiahkan pahala bacaannya baik, semestinya merekalah yang lebih dulu mengerjakan perbuatan yang baik itu. Tentang bab amal-amal Qurbah (amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah) hanya diboleh-kan berdasarkan nash (dalil/contoh) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh memakai qiyas atau pendapat.”

Periksa Tafsir Ibni Katsir (IV/272), cet. Darus Salam dan Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220), cet. Maktabah al-Ma’arif.

Apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Imam asy-Syafi’i itu merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga pendapatnya Imam Hanafi, sebagaimana dinukil oleh az-Zubaidi dalam Syarah Ihya’ ‘Ulumuddin (X/369).

Lihat Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220-221), cet. Maktabah al-Ma’arif th. 1412 H.

Allah berfirman tentang al-Qur-an:

“Supaya ia (al-Qur-an) memberi peringatan kepada orang yang HIDUP…” [Yaasiin: 70]

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an ataukah hati mereka terkunci.” [Muhammad: 24]

Yang wajib juga diperhatikan oleh seorang Muslim adalah, tidak boleh beribadah di sisi kubur dengan me-lakukan shalat, berdo’a, menyembelih binatang, ber-nadzar atau membaca al-Qur-an dan ibadah lainnya. Tidak ada satupun keterangan yang sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya bahwa mereka melakukan ibadah di sisi kubur. Bahkan, ancaman yang keraslah bagi orang yang beribadah di sisi kubur orang yang shalih, apakah dia wali atau Nabi, terlebih lagi dia bukan seorang yang shalih.[1]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras terhadap orang yang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani (karena)

mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah.” [2]

Tidak ada satu pun kuburan di muka bumi ini yang mengandung keramat dan barakah, sehingga orang yang sengaja menuju kesana untuk mencari keramat dan ba-rakah, mereka telah jatuh dalam perbuatan bid’ah dan syirik. Dalam Islam, tidak dibenarkan sengaja mengada-kan safar (perjalanan) ziarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur-kubur tertentu, seperti, kuburan wali, kyai, habib dan lainnya dengan niat mencari keramat dan barakah dan mengadakan ibadah di sana. Hal ini dilarang dan tidak dibenarkan dalam Islam, karena perbuatan ini adalah bid’ah dan sarana yang menjurus kepada kesyirikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِيْ هَذَا، وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى.
“Tidak boleh mengadakan safar (perjalanan dengan tuju-an beribadah) kecuali ketiga masjid, yaitu Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.”[3] 


Adapun adab ziarah kubur, kaum Muslimin dianjur-kan ziarah ke pemakaman kaum Muslimin dengan me-ngucapkan salam dan mendo’akan agar dosa-dosa mereka diampuni dan diberikan rahmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.[4]

Wallaahu a’lam bish shawab.

MARAJI’
1.Tafsir Ibni Katsir, cet. Daarus Salam, th. 1413 H.
2. Shahih al-Bukhary.
3. Shahih Muslim.
4. Sunan Abi Dawud.
5. Sunan an-Nasaa-i.
6. Sunan Ibni Majah.
7. Musnad Imam Ahmad.
8. Sunanul Kubra’, oleh al-Baihaqy.
9. Al-Mustadrak, oleh Imam al-Hakim.
10. Syu’abul Iman, oleh Imam al-Baihaqy.
11. Dha’if Jami’ush Shaghir, oleh Imam Muhammad Na-shiruddin al-Albany.
12. Misykatul Mashabih, tahqiq: Imam Muhammad Na-shiruddin al-Albany.
13. Al-Kamil fii Dhu’afaa-ir Rijal, oleh Imam Ibnu ‘Ady.
14. Mizaanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bajaawy, cet. Daarul Fikr.
15. Lisanul Mizan, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
16. Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. Maktabah al-Ma’arif.
17. Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq dan ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql, tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Muham-mad Zuhair asy-Syawaisy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1403 H.
18. Fat-hul Majiid Syarh Kitaabit Tauhiid, oleh Syaikh ‘Ab-durrahman bin Hasan Alu Syaikh, tahqiq: Dr. Walid bin ‘Abdirrahman bin Muhammad Alu Furayyan.

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_______
Footnote
[1]. Fat-hul Majiid Syarh Kitaabit Tauhiid hal. 18: “Sebab kekufuran anak Adam dan mereka meninggalkan agama mereka adalah karena ghuluww (berlebihan) kepada orang-orang shalih.” Dan bab 19: “Ancaman keras kepada orang yang beribadah kepada Allah di sisi kubur orang yang shalih, bagaimana jika ia menyembahnya??!” Ditulis oleh Syaikh ‘Ab-durrahman bin Hasan Alu Syaikh, wafat th. 1285 H, tahqiq: Dr. Walid bin ‘Abdurrahman bin Muhammad Alu Furayyan.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 435, 1330, 1390, 3453, 4441), Muslim (no. 531) Ahmad (I/218, VI/21, 34, 80, 255), dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 1189) dan Muslim (no. 1397 (511)) dari Abu Hu-rairah radhiyallahu ‘anhu dan diriwayatkan juga oleh al-Bukhari (no. 1197, 1864, 1995) dan Muslim (no. 827) dari Abu Sa’id al-Khudri ra-dhiyallahu ‘anhu, derajatnya mutawatir. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (III/226, no. 773).
[4]. Silahkan merujuk kepada kitab saya Do’a & Wirid Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah hal. 97-99.